Thursday, August 2, 2007

MENGGUGAT TUHAN


Aku bergegas bangun begitu fajar pagi membelai kaca jendela kamarku.Aku suka sekali menatap kota ini saat irama pagi pertama berbunyi.Melihat semua yang ada dalam kota ini menari untuknya.Menari dengan gerakan kerja dan beraroma peluh kewajiban.Aku tidak tahu harus bersyukur atau bersedih.Semua yang kulihat di perempatan pasar ini adalah jelata.Kasta terendah dari masyarakat dan yang paling punya andil dalam mengumuhkan bantaran pinggir sungai dan sudut – sudut kota yang dibiarkan seolah tak ber-tuan.

Pinggir jalan di sudut sebuah gang dengan tenda seadanya,sebuah warung kopi berdiri menyempil dan menampilkan salah satu ke khas-an pagi hari.Ku langkahkan kakiku ke tempat tersebut,dan menyapa pemiliknya dengan pesanan sebuah teh manis hangat.Di kanan kiri ku sudah duduk orang – orang dengan nafas kemiskinan.Mereka tampak tidak terlalu asik dengan hari ini,hanya aku yang tampak terlihat bergairah dengan pagi hari ini.Aku masih menunggu tarian itu di mulai,aku ingin terangsang oleh gerakan gemulainya.Tanpa pernah ingin bergerak untuk menari bersama.

Satu teguk teh manis hangat yang tengah mengalir di tenggorokanku memberi kesan pagi lebih menggeliat.Lingkaran matahari sedikit lebih tinggi dari pertama kali kulihat dari sekitar satu jam yang lalu.Ku raihsesuatu dari dalam tas ku,sebuah kamera tua peninggalan ayahku.Kuarahkan lensanya ke arah pemilik warung yang tengah melayani tamunya.Dengan sedikit malu dan gugup,dia masih tersenyum ke arahku.Aku tidak menyapa,cuma kembali senyum kepadanya.Sementara itu orang di sebelahku sedikit bertampang enggan menatapku.Aku sendiri jadi takut akan menyinggungnya.

Kemudian aku bergeser sedikit menjauh dari warung,untuk mengarahkan lensa kameraku ke arah warung tadi.Lalu ke sudut – sudut yang menarik perhatianku di pinggir jalan yang tadi kulalui sebelum berhenti di warung kopi tadi.Tiba – tiba pandangan ku tertarik ke arah sebuah papan bertuliskan AYO BERDEMO KPD TUHAN ! Kulihat seorang perempuan tidak terlalu dekil ataupun kumal tengah duduk di dekat papan tersebut.Sambil menatap debu jalan yang mulai menggeliat,akibat sudah mulai ramainya jerit deru kendaraan di jalan itu.Sesekali dia menyapa orang yang mondar-mandir di depannya.Seolah enggan atau merasa pikiran di kecam perasaan bahwa dia gila atau tidak waras.Orang mengacuhkannya.Paras cantiknya tertutup debu jalan dan gurat bimbang di sudut matanya.Aku tahu dia tidak gila,dia cukup waras untuk menggoreskan tinta di papan sebelahnya.

Lensa kamera ku kembali ku arahkan ke papan itu,beserta perempuan di sebelahnya.Sekarang satu frame dengan tulisan tadi.Wajah penuh keterasingan wanita tadi seolah telah berteman lama dengan tema tulisan di sebelahnya.Langkahku semakin dekat ke arah perempuan tadi.Dia sadar kalau aku tengah mengincarnya sebagai objek kameraku.Tidak senyum atau juga marah dia cuma menatapku kosong.

Baru saja aku akan melangkah lebih dekat lagi,seorang tukang becak menahanku.Dia melarangku mendekati perempuan tadi.Dengan keterangannya yang membuatku setengah takut dan iba.Ku urungkan niatku menghampiri perempuan itu.Ku biarkan dia asik dengan pekerjaannya menyapa orang untuk ikut berdemo ke depan Tuhan.

Pikiranku menerawang jauh sebelum peristiwa wanita itu menulis di papan itu.Tepatnya tiga bulan yang lalu.Aku ada di sana kala itu.Ketika puluhan aparat kamtib membersihkan ratusan lapak pedagang kaki lima di sepanjang jalan menuju pasar.Aku tidak begitu mengingat di mana perempuan itu berada saat itu.Aku cuma ingat hari itu udara panas menggigit ubun – ubun kepala.Sesekali kameraku menangkap momen orang marah,kesal,gusar,putus asa,dan bingung.Ada juga amarah tersembul kadang dari tetesan peluh keringatku,tapi segera menguap seketika itu juga oleh panasnya udara di sekelilingku.

Kini aku bisa membayangkan kisah kenapa wanita itu mau nekat berdemo ke depan Tuhan.Dan kenapa aku tidak mendukungnya ? Dan kenapa aku harus terpengaruh dengan semua perkataan tukang becak tadi dan merasa takut terhadap perempuan tersebut.Dia cuma bingung harus berdemo kemana,pergi ke walikota atau gedung pemerintahan tak akan pernah ada gunanya.Yang bisa dengar dan melihat serta iba dan marah adalah cuma warga pemirsa,pendengar atau pembaca tv,radio dan koran saja.Kalau peristiwa demo itu di liput.Mereka pun tak mampu bertindak apa-apa.Reaksinya tetap saja bungkam dan tanpa hasil.

Kemudian aku teringat peristiwa tiga bulan lalu itu,tentang perempuan hamil yang harus melahirkan di tengah kekacauan itu.Ah,kenapa semuanya begitu samar.Aku melihat sekilas kemiripan perempuan hamil itu dengan perempuan yang ingin berdemo itu.Ku hampiri tukang becak tadi.Kutanyakan tentang peristiwa tiga bulan yang lalu itu.Dia mengiyakan semua pertanyaanku.Sekarang jelas,dia wanita hamil itu.Tapi kemana bayinya ? Di mana suaminya ? Kenapa hanya dia sendiri yang berdiri di pinggir jalan itu tanpa semua yang ku pertanyakan ? Setelah semua pertanyakan itu terjawab oleh si tukang becak,aku terduduk lemas tanpa daya.Seketika itu juga seperti ada setengah dari nyawaku tercabut dari ragaku.

Aku putuskan untuk ikut bersama perempuan itu berdemo di depan Tuhan.Menanggalkan semua ketakutanku terhadap soal kewarasan perempuan tadi.Juga tentang tatapan sejuta mata yang mungkin akan menatapku sama dengan perempuan tadi.Ini bukan soal iba atau marah,ini tentang menjadi wanita dan bersimpati kepada wanita lain.Memberi dukungan dengan seribu macam cara untuk semua perempuan yang teraniyaya.Baik oleh negara,budaya dan agama atau juga takdir nya.Tapi aku sudah lama membuang pikiran untuk tidak akan percaya lagi dengan yang namanya takdir.Sampai kapan harus berpikir bahwa takdir wanita hanya untuk tunduk pada perintah agama,norma dan juga yang lainnya.

Sekarang aku duduk di sebelah perempuan itu.Aku tawarkan kepadanya untuk tidak usah berdemo ke depan Tuhan.Tapi aku ajak dia untuk menggugat Tuhan.Dia terbengong mendengar ide ku.Raut wajahnya setengah bertanya mengarah kepadaku.Aku bertanya kepadanya apakah dia takut atau bingung dengan ideku.Dia diam.

Aku bilang sudah lama aku ingin menggugat Tuhan,tapi belum pernah terlaksana.Karena aku butuh teman yang ingin ikut melampirkan gugatan.Aku ingin menggugat Tuhan karena telah menjadikan dunia ini patriarkal.Menempatkan perempuan jadi spesies nomor dua,dan tidak sejajar dengan laki-laki,seperti janjinya dalam cerita hal ihwal awal kisah manusia yang di tulis dalam kitab suci.Diciptakan dari tulang rusuk pria dan bukan dari tulang jari kakinya supaya bisa di injak-injak.

Lalu aku teringat kepada cerpen seorang teman,tentang wanita yang mempertanyakan kisah ihwal tersebut.Kenapa harus dibuat dari bagian tubuh laki-laki.dan tidak laki-laki yang dibuat dari bagian tubuh wanita.Dia berharap laki-laki diciptakan dari helaian-helaian rambut hitamnya.

Matahari kian bergerak ke atas seperti terakhir aku melihatnya dari bawah tenda warung kopi tadi.Dan aku ikut menatap kosong ke arah jalanan menuju pasar itu bersama dengan perempuan itu.Perempuan yang ingin berdemo ke depan Tuhan,dan kini hendak ikut aku untuk menggugat Tuhan.

No comments: